A.
Profesionalitas Guru
Profesionalitas
bisa didefinisikan sebagai penguasaan terhadap ilmu pengetahuan tertentu atau
kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya, Maister (1997) mengemukakan
bahwa profesionalitas bukan sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi
lebih merupakan sikap.
Dalam jurnal
Educational Leadership (1993) dalam Supriadi (1998) dijelaskan bahwa di Amerika
untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal:
1.
Guru mempunyai
komitmen pada siswa dan proses belajarnya
2.
Guru menguasai
secara mendalam bahan atau mata pelajaran yang diajarkannya serta cara
mengajarnya kepada siswa
3.
Guru bertanggung
jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi
4.
Guru mampu berfikir
sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya
5.
Guru seyogyanya
merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Di Indonesia,
prinsip-prinsip profesionalitas disebutkan dalam UU no. 14 Tahun 2005 sebagai
berikut
1.
Profesi guru
merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai
berikut:
a.
memiliki bakat, minat,
panggilan jiwa, dan idealisme
b.
memiliki komitmen
untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia
c.
memiliki
kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas
d.
memiliki kompetensi
yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas
e.
memiliki tanggung
jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan
f.
memperoleh
penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja
g.
memiliki kesempatan
untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar
sepanjang hayat
h.
memiliki jaminan
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan
i.
memiliki organisasi
profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas
keprofesionalan guru.
2.
Pemberdayaan
profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen diselenggarakan melalui
pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis , berkeadilan, tidak diskriminatif,
dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai, keagamaan,
nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.
Selain itu, paradigma baru tentang tenaga pendidik yang mempunyai
profesionalitas tinggi yaitu memiliki:
1.
Kepribadian yang matang dan berkembang
2.
Penguasaan ilmu yang kuat
3.
Kemampuan untuk memotivasi peserta didik untuk menguasai
sains dan teknologi
4.
Pengembangan profesi secara berkesinambungan
Keempat aspek diatas merupakan satu kesatuan yang
utuh dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Apabila syarat-syarat
profesionalitas tenaga pendidik sudah terpenuhi maka peran guru yang awalnya
pasif bisa menjadi lebih kreatif. Pendapat serupa juga diungkapkan oleh
Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan tenaga pendidik profesional akan
mengubah peran tenaga pendidik yang semula sebagai orator yang verbalistis
menjadi kekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar
yang kondusif.
B.
Peranan Guru Dalam Masyarakat
Peranan guru dalam
masyarakat tergantung pada gambaran masyarakat tentang kedudukan dan status
sosialnya di masyarakat. Kedudukan sosial guru berbeda di Negara satu denagan
Negara yag lain dan zaman ke zaman lain pula. Di Negara–negara maju biasanya
guru di tempatkan pada posisi sosial yang tinggi atas peranan-peranan yang
penting dalam proses mencerdaskan bangsa. Namun keadaan ini akan jarang kita
temui di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sebenarnya peranan itu
juga tidak terlepas dari kualitas pribadi guru yang bersangkutan serta
kompetensi mereka dalam bekerja.
Pekerjaan guru
selalu dipandang dalam hubungannya dengan ideal pembangun bangsa. Dari guru
diharapkan agar ia menjadi manusia yang idealistis, namun guru sendiri tak
dapat tiada harus menggunakan pekerjaannya
sebagai alat untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Walau demikian,
masyarakat tak dapat menerima pekerjaan guru semata-mata sebagai mata
pencaharian belaka, sejajar dengan pekerjaan tukang kayu. Pekerjaan guru
menyangkut pendidikan anak, pembangunan negara dan masa depan bangsa.
Karena, kedudukan
yang istimewa itu masyarakat mempunyai harapan-harapan yang tinggi tentang
peranan guru. Harapan-harapan itu tidak dapat diabaikan oleh guru, bahkan dapat
menjadi norma yang turut menentukan kelakuan guru.
Dalam persepektif
perubahan sosial, guru yang baik tidak saja harus mampu melaksanakan tugas
propesionalnya di dalam kelas, namun harus pula melaksanakan tugas-tugas
pembelajaran-pembelajarannya di luar kelas atau di dalam masyarakat. Hal
tersebut sesuai pula dengan kedudukan sebagai agent of change yang berperan
sebagai inovator, motivator dan fasislitator terhadap kemajuan serta
pembaharuan. Dalam masyarakat, guru adalah sebagai pemimpin yang menjadi
panutan atau teladan serta contoh (referensi) bagi masyarakat sekitar. Mereka
adalah pemegang nilai-nilai norma yang harus dijaga dan dilaksanakan, ini dapat
kita lihat bahwa betapa ucapan guru dalam masyarakat sangat berpengaruh
terhadap orang lain.
Ki Hajar Dewantara
menggambarkan peranan guru sebagai stake holder atau tokoh panutan dengan
ungkapan-ungkapan “Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karso, tut wuri
handayani”. Disini tampak jelas bahwa, guru memang sebagai “pemeran aktif”,
dalam keseluruhan aktifitas masyarakat secara holistik. Tentunya para guru
harus bisa memposisikan dirinya sebagai agen yang benar-benar membangun,
sebagai pelaku propaganda yang bijak dan menuju ke arah positif bagi
perkembangan masyarakat.
C.
Pandangan Masyarakat Terhadap Guru Sekarang Ini
Dalam pandangan
masyarakat modern, guru belum merupakan profesi yang profesional jika hanya
mampu membuat murid membaca, menulis dan berhitung, atau mendapat nilai tinggi,
naik kelas, dan lulus ujian. Masyarakat modern menganggap kompetensi guru belum
lengkap jika hanya dilihat dari keahlian dan ketrampilan yang dimiliki
melainkan juga dari orientasi guru terhadap perubahan dan inovasi.
Bagi masyarakat
modern, eksistensi guru yang mandiri, kreatif, dan inovatif merupakan salah
satu aspek penting untuk membangun kehidupan bangsa. Banyak ahli berpendapat
bahwa keberhasilan negara Asia Timur (Cina, Korsel dan Jepang) muncul sebagai
negara industri baru karena didukung oleh penduduk/SDM terdidik dalam jumlah
yang memadai sebagai hasil sentuhan manusiawi guru.
Di negara kita,
guru yang memiliki keahlian spesialisasi harus diakui masih Iangka. Walaupun
sudah sejak puluhan tahun disiapkan, namun hasilnya masih belum nampak secara
nyata. Ini disebabkan karena masih cukup banyak guru yang belum memiliki konsep
diri yang baik, tidak tepat menyandang predikat sebagai guru, dan mengajar mata
pelajaran yang tidak sesuai dengan keahliannya. Semuanya terjadi karena
kemandirian guru belum nampak secara nyata, yaitu sebagian guru belum mampu
melihat konsep dirinya (self consept), ide dirinya (self idea), dan realita
dirinya (selfr eality). Tipe guru sepeni ini mustahil dapat menciptakan suasana
kegiatan pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM). Mungkin
karena hal inilah kenapa guru di indonesia masih dipandang oleh masyarakat,
dimana guru tidak dapat melakukan sesuai dengan tuntutan profesinya.
Untuk mengubah
persebsi masyarakat tentang pekerjaan seorang guru, maka para guru dituntut
tampil lebih profesional, lebih tinggi ilmu pengetahuannya dan lebih cekatan
dalam penguasaan teknologi komunikasi dan informasi. Artinya, guru mau tidak
mau dan dituntut harus terus meningkatkan kecakapan dan pengetahuannya
selangkah ke depan lebih dari pengetahuan masyarakat dan anak didiknya. Dalam
kehidupan bermasyarakat pun guru diharapkan lebih bermoral dan berakhlak
daripada masyarakat kebanyakan, tetapi di situlah muncul problem tatkala para
guru tidak memiliki kemampuan materi untuk memiliki segala akses dan jaringan
informasi sepeti TV, buku-buku, majalah, dan koran. Guru-guru memiliki gaji dan
tunjangan yang jauh dari cukup untuk meningkatkan profesinya sekaligus
memperkaya informasi mengenai perkembangan pengetahuan dan berbagai dinamika
kehidupan modern. Sehingga, rasanya sangat sulit di era modern ini guru dapat
tampil lebih profesional, memiliki tanggung jawab moral profesi sebagai
konsekuensi etisnya.
No comments:
Post a Comment