Translate

Monday 16 September 2013

pendekatan dan pengembangan kurikulum matematika

A. Perkembangan Kurikulum Matematika Sekolah
Perkembangan kurikulum matematika sekolah, khususnya ditinjau dari implementasi dan aspek teori belajar yang melandasinya, merupakan faktor yang sangat menarik dalam pembicaraan tentang pendidikan matematika. Hal ini dapat difahami sebab perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses pembelajaran matematika sekolah tidak terlepas dari adanya perubahan pandangan tentang hakekat matematika dan belajar matematika. Sebagai akibatnya, tidaklah mengherankan apabila terjadi perubahan kurikulum, maka berubah pulalah proses pembelajaran di dalam kelas.
Sejak tahun 1968, di Indonesia telah terjadi beberapa kali perubahan kurikulum matematika sekolah. Berdasarkan tahun terjadinya perubahan untuk tiap kurikulum, maka muncullah nama-nama kurikulum berikut: Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1996, dan Kurikulum 1999. Selain itu, Sebelum muncul Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pada tahun 2002 telah disusun sebuah kurikulum yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Berdasarkan literatur yang ada, ciri-ciri pembelajaran matematika pada kurikulum 1968 antara lain adalah sebagai berikut:
a.       Dalam pengajaran geometri, penekanan lebih diberikan pada keterampilan berhitung, misalnya menghitung luas bangun geometri datar atau volume bangun geometri ruang, bukan pada pengertian bagaimana rumus-rumus untuk melakukan perhitungan tersebut diperoleh (Ruseffendi, 1985, h.33).
b.      Lebih mengutamakan hafalan yang sifatnya mekanis daripada pengertian (Ruseffendi, 1979, h.2).
c.       Program berhitung kurang memperhatikan aspek kontinuitas dengan materi pada jenjang berikutnya, serta kurang terkait dengan dunia luar (Ruseffendi, 1979, h.4).
d.      Penyajian materi kurang memberikan peluang untuk tumbuhnya motivasi serta rasa ingin tahu anak (Ruseffendi, 1979, h.5).
Jika dilihat dari ciri-cirinya, pengajaran matematika pada kurikulum ini dimulai dengan penjelasan singkat yang disertai tanya-jawab dan penyajian contoh, serta dilanjutkan dengan pengerjan soal-soal latihan baik yang bersifat prosedural atau penggunaan rumus tertentu. Dalam proses pengajaran tersebut, pengerjaan soal-soal latihan merupakan kegiatan yang diutamakan dengan maksud untuk memberi penguatan pada apa yang sudah dicontohkan guru di depan kelas. Dengan demikian, latihan untuk menghafalkan fakta dasar, algoritma, atau penggunaan rumus-rumus tertentu dapat dilakukan melalui pengerjan soal-soal yang diberikan.
Menurut Skinner (dalam Ruseffendi, 1988, h.171), untuk menguatkan pemahaman siswa tentang apa yang baru dipelajari, maka setelah terjadinya proses stimulus-respon yang antara lain berupa tanya-jawab dalam proses pengajaran, harus dilanjutkan dengan memberikan penguatan antara lain berupa latihan soal-soal. Dengan demikian teori belajar yang dominan digunakan dalam implementasi kurikulum matematika 1968 adalah teori belajar dari Skinner.
Pada tahun 1975, terjadi perubahan yang sangat besar dalam pengajaran matematika di Indonesia yang ditandai dengan dimasukannya matematika moderen ke dalam kurikulum 1975. Menurut Ruseffendi (1979, h.12-14), matematika moderen tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.       Terdapat topik-topik baru yang diperkenalkan yaitu himpunan, geometri bidang dan ruang, statistika dan probabilitas, relasi, sistem numerasi kuno, dan penulisan lambang bilangan nondesimal. Selain itu diperkenalkan pula konsep-konsep baru seperti penggunaan himpunan, pendekatan pengajaran matematika secara spiral, dan pengajaran geometri dimulai dengan lengkungan.
b.      Terjadi pergeseran dari pengajaran yang lebih menekankan pada hafalan ke pengajaran yang mengutamakan pengertian.
c.       Soal-soal yang diberikan lebih diutamakan yang bersifat pemecahan masalah daripada yang bersifat rutin.
d.      Ada kesinambungan dalam penyajian bahan ajar antara Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan.
e.       Terdapat penekanan kepada struktur.
f.       Program pengajaran pada matematika moderen lebih memperhatikan adanya keberagaman antar siswa.
g.      Terdapat upaya-upaya penggunaan istilah yang lebih tepat.
h.      Ada pergeseran dari pengajaran yang berpusat pada guru ke pengajaran yang lebih berpusat pada siswa.
i.        Sebagai akibat dari pengajaran yang lebih berpusat pada siswa, maka metode mengajar yang lebih banyak digunakan adalah penemuan dan pemecahan masalah dengan teknik diskusi.
j.        Terdapat upaya agar pengajaran matematika dilakukan dengan cara yang menarik, misalnya melalui permainan, teka-teki, atau kegiatan lapangan.
Berdasarkan ciri-ciri pengajaran matematika moderen di atas, maka teori belajar yang dipergunakan lebih bersifat campuran. Hal ini sesuai dengan pendapat Ruseffendi (1988, h.178) yang menyatakan bahwa teori belajar-mengajar yang dipergunakan pada saat itu adalah campuran antara teori pengaitan dari Thorndike, aliran psikologi perkembangan seperti teori Piaget, serta aliran tingkah laku dari Skinner dan Gagne. Namun demikian, Ruseffendi selanjutnya menambahkan bahwa teori yang lebih dominan digunakan adalah aliran psikologi perkembangan seperti dari Piaget dan Bruner sebab yang menjadi sentral pengajaran matematika adalah pemecahan masalah.
Perubahan dari Kurikulum 1975 ke Kurikulum 1984 sebenarnya tidak terlalu banyak baik dari sisi materi maupun cara pengajarannya. Perbedaan utama dengan kurikulum sebelumnya, pada Kurikulum 1984 ini materi pengenalan komputer mulai diberikan. Menurut Ruseffendi (1988, h.102), dimasukannya materi komputer ke dalam kurikulum matematika sekolah merupakan suatu langkah maju. Hal ini dapat difahami, karena penggunaan alat-alat canggih seperti komputer dan kalkulator dapat memungkinkan siswa untuk melakukan kegiatan eksplorasi dalam proses belajar matematika mereka baik dengan menggunakan pola-pola bilangan maupun grafik.
Jika dilihat dari ciri-cirinya yang tidak jauh berbeda dengan kurikulum sebelumnya, maka teori belajar yang digunakan pada pengajaran matematika kurikulum 1984 ini juga lebih bersifat campuran antara teori pengaitan, aliran psikologi perkembangan, dan aliran tingkah laku.
Pada tahun 1994 terjadi lagi perubahan terhadap kurikulum pendidikan sekolah mulai tingkat SD sampai SMU. Pada bidang matematika, terdapat beberapa perubahan baik dari sisi materi maupun pengajarannya. Yang menjadi bahan kajian inti untuk matematika sekolah dasar adalah: aritmetika (berhitung), pengantar aljabar, geometri, pengukuran, dan kajian data (pengantar statistika). Pada kurikulum matematika SD ini, terdapat penekanan khusus pada penguasaan bilangan (number sense) termasuk di dalamnya berhitung. Untuk SLTP, bahan kajian intinya mencakup: aritmetika, aljabar, geometri, peluang, dan statistika. Dalam kurikulum ini terdapat upaya untuk menanamkan pemikiran deduktif yang ketat melalui struktur deduktif terbatas pada sebagian bahan geometri. Materi matematika untuk SMU terdapat sedikit perubahan yakni dimasukannya pengenalan teori graf yang merupakan bagian dari matematika diskrit.
Berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki kurikulum matematika sekolah tahun 1994, perubahan yang sangat mendasar terjadi di sekolah dasar. Perubahan tersebut adalah adanya penekanan khusus yang diberikan pada penguasaan bilangan, termasuk di dalamnya berhitung. Implikasi dari perubahan ini, adalah digunakannya kembali secara dominan teori belajar dari dari Skinner. Sementara itu, pengajaran matematika untuk tingkat SLTP dan SMU nampaknya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Dengan demikian untuk tingkat SLTP dan SMU teori belajar yang digunakan dalam proses belajar-mengajar masih bersifat campuran dengan dominasi ada pada penerapan aliran psikologi perkembangan.
Sebagai langkah penyempurnaan pada Kurikulum 1994, terjadi sejumlah reduksi serta restrukturisasi materi bahan ajar sehingga muncul Kurikulum 1994. Sebagai contoh, beberapa bagian dari pokok bahasan himpunan di SLTP dihilangkan, dan pengantar teori graf di SMU juga dihilangkan. Selain itu, terdapat juga perubahan-perubahan kecil dan penyusunan kembali urutan penyajian untuk pokok-pokok bahasan tertentu. Selain dari hal tersebut, sebagian besar dari materi kurikulum 1999 hampir sama dengan kurikulum 1994. Dengan demikian, teori belajar yang digunakan pada kurikulum 1999 ini masih sama dengan yang digunakan pada implementasi kurikulum sebelumnya.
Pada tahun 2002, Pusat Kurikulum mengeluarkan dokumen kurikulum baru yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi. Beberapa ciri penting dari kurikulum tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a.       Karena kurikulum ini dikembangkan berdasarkan kompetensi tertentu, maka kurikulum 2002 diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi.
b.      Berpusat pada anak sebagai pengembang pengetahuan.
c.       Terdapat penekanan pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah; kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan meng-komunikasikan gagasan secara matematik.
d.      Cakupan materi untuk sekolah dasar meliputi: bilangan, geometri dan pengukuran, pengolahan data, pemecahan masalah, serta penalaran dan komunikasi.
e.       Cakupan materi untuk SLTP meliputi: bilangan, aljabar, geometri dan pengukuran, peluang dan statistika, pemecahan masalah, serta penalaran dan komunikasi.
f.       Cakupan materi untuk SMU meliputi: aljabar, geometri dan pengukuran, trigonometri, peluang dan statistika, kalkulus, logika matematika, pemecahan masalah, serta penalaran dan komunikasi.
g.      Kurikulum berbasis kompetensi ini secara garis besarnya mencakup tiga komponen yaitu kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian hasil belajar.
h.      Kemampuan pemecahan masalah serta penalaran dan komunikasi bukan merupakan pokok bahasan tersendiri, melainkan harus dicapai melalui proses belajar dengan mengintegrasikan topik-topik tertentu yang sesuai.
Jika dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, kurikulum berbasis kompetensi ini memuat perubahan yang cukup mendasar terutama dalam hal penerapan pandangan bahwa dalam proses belajar, anak dianggap sebagai pengembang pengetahuan. Selain itu, adanya penekanan pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah; berfikir logis, kritis, dan kreatif; serta mengkomunikasikan gagasan secara matematik, maka teori belajar yang dominan digunakan kemungkinannya adalah aliran psikologi perkembangan serta konstruktivisme.
Dalam penerapannya, guru antara lain harus mampu menciptakan suatu kondisi sehingga proses asimilasi dan akomodasi seperti yang dikemukakan Piaget dapat berjalan secara efektif. Selain itu, guru juga harus memperhatikan adanya keberagaman kemampuan di antara siswa sehingga dengan kondisi tertentu yang diciptakan guru, maka potensi masing-masing siswa dapat berkembang secara optimal.


B. Pendekatan Pembelajaran yang Banyak Diadaptasi di Indonesia
Dalam beberapa tahun terahir ini paling sedikit terdapat tiga isu penting mengenai pengajaran matematika yaitu pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dari Belanda, pendekatan Open-Ended dari Jepang, dan pendekatan kontekstual dari Amerika Serikat. Di bawah ini adalah uraian singkat mengenai masing-masing pendekatan tersebut.
1.      Pendekatan Realistik
Realistic Mathematics Education (RME) pertama kali berkembang di Belanda sejak awal tahun 70-an. Adapun orang yang pertama mengembangkannya adalah Freudenthal dan kawan-kawan dari Freudenthal Institute. Dalam pandangan Freudenthal, agar matematika memiliki nilai kemanusiaan (human value) maka pembelajarannya haruslah dikaitkan dengan realita, dekat dengan pengalaman anak serta relevan untuk kehidupan masyarakat. Selain itu Freudenthal juga berpandangan bahwa matematika sebaiknya tidak dipandang sebagai suatu bahan ajar yang harus ditransfer secara langsung sebagai matematika siap pakai, melainkan harus dipandang sebagai suatu aktivitas manusia.
Pembelajaran matematika sebaiknya dilakukan dengan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak untuk mencoba menemukan sendiri melalui bantuan tertentu dari guru. Dalam istilah Freudenthal kegiatan seperti ini disebut guided reinvention, yakni suatu kegiatan yang mendorong anak untuk menemukan prinsip, konsep, atau rumus-rumus matematika melalui kegiatan pembelajaran yang secara spesifik dirancang oleh guru. Dengan demikian, prinsip utama pembelajaran matematika tidaklah terletak pada matematika sebagai suatu sistem tertutup yang kaku, melainkan pada aktivitasnya yang lebih dikenal sebagai suatu proses matematisasi (process of mathematization) (Van den Heuvel-Panhuizen, 2000).
Pada perkembangan selanjutnya, Treffers (dalam van den Heuvel-Panhuizen, 2000) mencoba memformulasikan proses matematisasi, dalam konteks pendidikan matematika, menjadi dua tipe yakni matematisasi horizontal dan vertikal. Dalam tahap horizontal, pada ahirnya anak akan sampai pada mathematical tools seperti konsep, prinsip, algoritma, atau rumus yang dapat digunakan untuk membantu mengorganisasi serta memecahkan permasalahan yang didesain terkait dengan konteks kehidupan sehari-hari. Matematisasi vertikal adalah suatu proses reorganisasi yang terjadi dalam sistem matematika sendiri, misalnya, menemukan suatu keterkaitan antara beberapa konsep dan strategi serta mencoba menerapkannya dalam menyelesaikan masalah yang diberikan.
Dengan demikian, matematisasi horizontal memuat suatu proses yang diawali dari dunia nyata menuju dunia simbol, sedangkan matematisasi vertikal mengandung makna suatu proses perpindahan dalam dunia simbol itu sendiri. Menurut Freudenthal, kedua proses matematisasi ini tidak bisa dipandang secara sendiri-sendiri, melainkan merupakan suatu kesatuan yang memiliki nilai sama pentingnya dalam proses pembelajaran matematika.
Pada tahun 1998, Indonesia mulai melirik pendekatan RME ini yang antara lain ditandai dengan pengiriman sejumlah dosen untuk mengambil program S3 di Belanda. Di antara mereka yang mengambil S3 dalam bidang pendidikan matematika diharuskan berkonsentrasi pada pembelajaran matematika dengan pendekatan RME. Awal tahun 2001, DIKTI melalui proyek PGSM mencoba menginisiasi ujicoba pembelajaran dengan pendekatan RME ini di kelas-kelas awal sekolah dasar. Perguruan Tinggi yang terlibat dalam uji coba ini adalah Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, dan Universitas Negeri Surabaya. Adapun beberapa sekolah yang terlibat untuk kawasan Bandung adalah SDPN yang ada di lingkungan UPI, SDN Sabang, dan MIN Cicendo.
RME mencerminkan suatu pandangan tentang matematika sebagai sebuah subject matter, bagaimana anak belajar matematika, dan bagaimana matematika seharusnya diajarkan. Pandangan ini terurai dalam enam karakteristik RME yang akan diuraikan berikut ini.
Prinsip Aktivitas.Menurut Freudenthal, karena ide proses matematisasi berkaitan erat dengan pandangan bahwa matematika merupakan aktivitas manusia, maka cara terbaik untuk mempelajari matematika adalah melalui doing yakni dengan mengerjakan masalah-masalah yang didesain secara khusus. Anak tidak dipandang sebagai individu yang hanya siap menerima konsep-konsep matematika siap-pakai secara pasif, melainkan harus diperlakukan sebagai partisipan aktif dalam keseluruhan proses pendidikan sehingga mereka mampu mengembangkan sejumlah mathematical tools yang kedalaman serta liku-likunya betul-betul dihayati.
Prinsip Realitas. Seperti halnya dalam pendekatan pembelajaran matematika pada umumnya, tujuan utama RME adalah agar siswa mampu mengaplikasikan matematika. Dengan demikian tujuan pengajaran matematika yang paling utama adalah agar siswa mampu menggunakan matematika yang mereka pahami untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam RME, prinsip realitas ini tidak hanya dikembangkan pada tahap ahir dari suatu proses pembelajaran melainkan dipandang sebagai suatu sumber untuk belajar matematika. Karena matematika tumbuh dari matematisasi realitas, maka selayaknya belajar matematika-pun harus diawali dengan proses matematisasi realitas.
Prinsip Tahap Pemahaman. Proses belajar matematika mencakup berbagai tahapan pemahaman mulai dari pengembangan kemampuan menemukan solusi informal yang berkaitan dengan konteks, menemukan rumus dan skema, sampai menemukan prinsip-prinsip keterkaitan. Persyaratan untuk sampai pada tahap pemahaman berikutnya menuntut adanya kemampuan untuk merefleksi aktivitas pengerjaan tugas-tugas matematika yang telah dilakukan. Aspek refleksi ini dapat terungkap melalui kegiatan yang melibatkan proses interaksi. Model-model yang dikembangkan oleh siswa pada proses selanjutnya akan menjadi modal utama sebagai jembatan antara tahap informal, konteks matematika yang berkaitan dan tahap matematika formal.
Prinsip Intertwinement. Salah satu karakteristik dari RME dalam kaitannya dengan matematika sebagai bahan ajar, adalah bahwa matematika tidak dipandang sebagai suatu bahan ajar yang terpisah-pisah. Dengan demikian, menyelesaikan suatu masalah matematika yang kaya-konteks mengandung arti bahwa siswa memiliki kesempatan untuk menerapkan berbagai konsep, rumus, prinsip, serta pemahaman secara terpadu dan saling berkaitan.
Prinsip Interaksi. Dalam pendekatan RME, proses belajar matematika dipandang sebagai suatu aktivitas sosial. Dengan kata lain siswa diberi kesempatan untuk melakukan tukar pengalaman, strategi penyelesaian, serta temuan lainnya di antara sesama mereka. Dengan mendengarkan apa yang ditemukan orang lain serta mendiskusikannya, siswa dimungkinkan untuk meningkatkan strategi yang mereka temukan sendiri. Dengan demikian, interaksi memungkinkan siswa untuk melakukan refleksi yang pada ahirnya akan mendorong mereka pada perolehan pemahaman yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Prinsip Bimbingan. Salah satu prinsip kunci yang diajukan Freudenthal dalam pembelajaran matematika adalah perlunya bimbingan agar siswa mampu menemukan kembali matematika. Implikasi dari pandangan ini adalah bahwa baik guru maupun program pendidikan memegang peran yang sangat pital dalam proses bagaimana siswa memperoleh pengetahuan.
Prinsip aktivitas dalam RME yang memberikan penekanan pada pentingnya siswa untuk melakukan sesuatu yang merupakan bagian dari kegiatan bermatematika nampaknya dapat memberikan peluang bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematik mereka. Hal ini disebabkan karena kegiatan bermatematika pada dasarnya merupakan aktivitas yang dapat dilakukan baik secara individual maupun berkelompok. Aktivitas individual dapat menjadi landasan yang efektif untuk terjadinya interaksi konstruktif dalam kegiatan kelompok.
Demikian pula sebaliknya, hasil interaksi dalam kegiatan kelompok dapat menjadi pendorong untuk terjadinya proses berpikir lebih lanjut dalam tataran individual. Prinsip aktivitas yang sekaligus dapat mendorong terlaksananya prinsip interaksi, memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi, karena aspek-aspek berpikir seperti matematisasi situasi, melakukan analisis, melakukan interpretasi, mengembangkan model sendiri, memberikan argumen matematik, dan membuat generalisasi pada hakekatnya merupakan rangkaian aktivitas bermatematika.
Interaksi antar siswa dalam konteks aktivitas bermatematika yang antara lain bisa dilakukan dalam bentuk dikusi, mengajukan argumentasi, atau memberikan jastifikasi pada gilirannya dapat mendorong terjadinya refleksi atas hasil atau tahapan yang telah dicapai. Refleksi yang terjadi pada tataran individu maupun kelompok pada akhirnya akan memunculkan peluang terjadinya peningkatan pemahaman pada masing-masing siswa. Dan tidak mustahil, peningkatan pemahaman ini selanjutnya akan mendorong terjadinya proses berpikir lanjutan ke tahapan yang lebih tinggi lagi dari yang sudah dicapai sebelumnya.
Dengan demikian, prinsip tahap pemahaman yang dikembangkan dalam RME pada hakekatnya merupakan upaya mendorong terjadinya peningkatan proses berpikir pada diri siswa secara bertahap sehingga mencapai tingkatan optimal sesuai kemampuannya.
Realitas situasi yang terjangkau oleh pemikiran seseorang merupakan sarana efektif untuk terjadinya proses berpikir yang konstruktif. Hal ini disebabkan karena konteks yang dikenal dapat menstimulasi proses berpikir secara konstruktif pada saat penyelesaian suatu masalah. Belajar dengan multi konteks yang didasarkan pada teori belajar dan teori kognisi mengisyaratkan bahwa pengetahuan dan belajar hendaknya diperoleh serta dilakukan melalui suatu pengkondisian yang melibatkan konteks yang dikenal anak.
Teori kognisi mengasumsikan, bahwa pengetahuan tidak mungkin dapat dipisahkan dari konteks dan aktivitas yang terkait dengan proses pengembangan pengetahuan tersebut. Dengan demikian, bagaimana seseorang belajar suatu pengetahuan dan keterampilan, serta situasi dimana dia belajar, merupakan bagian yang sangat mendasar dalam terjadinya proses belajar. Dengan demikian, konteks dan aktivitas dalam pembelajaran sebaiknya diciptakan dalam bentuk yang bermakna bagi siswa.
Realitas yang dapat dimaknai sebagai konteks yang dikenal anak pada ahirnya akan berperan sebagai komponen-komponen dari suatu skema berpikir. Dalam skema tersebut dimungkinkan terjadinya pengaitan berbagai konteks maupun konsep matematika. Dalam situasi seperti ini, proses berpikir yang terjadi dapat melibatkan berbagai aspek dari tiap tahapan berpikir termasuk dari tahapan yang paling tinggi. Dengan demikian, prinsip realitas dan inter-twinment dapat dimanfaatkan untuk mendorong proses berpikir seseorang ke tahapan yang lebih tinggi dari tahapan yang sudah dicapai sebelumnya.
2.      Pendekatan Open-Ended
Uraian tentang pendekatan Open-Ended yang disajikan berikut ini dikembangkan berdasarkan tulisan Becker dan Shimada (1997) berjudul The Open-Ended Approach: A New Proposal for Teaching Mathematics. Antara tahun 1971 dan 1976 para ahli pendidikan matematika Jepang melakukan serangkaian penelitian yang berfokus pada pengembangan metoda evaluasi untuk mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam pendidikan matematika. Rangkaian penelitian tersebut adalah sebagai berikut: (1) Studi pengembangan metoda evaluasi dalam pendidikan matematika, tahun 1971, (2) Studi pengembangan metoda evaluasi dan analisis pengaruh faktor-faktor belajar dalam pendidikan matematika, tahun 1972-1973, dan (3) Studi pengembangan metoda evaluasi untuk mengukur kemampuan siswa dalam keterampilan berpikir matematik tingkat tinggi, tahun 1974-1976.
Pada tahap pertama dari serangkaian studi yang dilakukan, perhatian difokuskan pada penelaahan efektivitas penggunaan open-ended problems sebagai suatu metoda evaluasi untuk mengukur keterampilan berpikir matematik tingkat tinggi. Karena hasil-hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa penggunaan open-ended problems ternyata mengandung potensi yang sangat besar untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika, maka selanjutnya dilakukan sintesis terhadap semua hasil penelitian di atas sehingga dihasilkan sebuah buku yang bisa dibaca secara luas oleh masyarakat pendidikan matematika internasional.
Dalam bagian buku tersebut dijelaskan, pembelajaran matematika tradisional antara lain bercirikan bahwa soal-soal yang dikembangkan baik dalam buku ajar maupun yang disajikan dalam proses pembelajaran biasanya hanya memiliki jawaban benar yang tunggal. Dengan demikian jawaban siswa hanya berkisar pada dua kemungkinan yakni benar atau salah. Masalah seperti ini selanjutnya disebut sebagai masalah tertutup (close problems). Suatu masalah yang diformulasikan sedemikian sehingga memiliki kemungkinan variasi jawaban benar baik dari aspek cara maupun hasilnya disebut masalah open-ended. Dalam proses pembelajaran, manakala siswa dihadapkan pada suatu masalah dan mereka diminta untuk mengembangkan metoda, cara, atau pendekatan yang berbeda-beda dalam upaya memperolah jawaban benar, maka mereka sebenarnya berhadapan dengan masalah yang bersifat open-ended. Dalam kasus tersebut, siswa tidak hanya diminta untuk menentukan suatu jawaban yang benar atas soal yang diberikan melainkan juga diminta untuk menjelaskan bagaimana caranya sampai pada jawaban benar tersebut.
Pengembangan ide digunakannya pendekatan open-ended diawali dari adanya keinginan untuk mengevaluasi kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa dalam matematika. Dalam pembelajaran matematika, serangkaian pengetahuan, keterampilan, konsep, prinsip, atau aturan biasanya disajikan secara bertahap. Penyajian secara bertahap ini bukan dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa satu topik lebih penting dari topik lainnya atau mencoba memisahkan tiap konsep dari konsep lainnya. Hal tersebut dilakukan dengan maksud untuk membangun suatu pemahaman secara gradual-bertahap yang pada ahirnya menuju pada pemahaman yang lebih terintegrasi. Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman yang sudah dicapai, khususnya menyangkut kemampuan berpikir tingkat tingginya, maka diperlukan cara mengevaluasi yang lebih bersifat tidak rutin sebagaimana soal-soal yang biasa muncul dalam buku ajar, ulangan harian, atau ujian.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh suatu kesimpulan umum antara lain bahwa tujuan pembelajaran tingkat tinggi dimungkinkan untuk dikembangkan melalui pendekatan yang bersifat open-ended. Perkembangan perolehan komponen-komponen pengetahuan dan keterampilan yang berguna untuk mencapai tujuan pembelajaran tingkat tinggi, tidak hanya tergantung pada kemampuan bawaan siswa (talenta), akan tetapi juga sangat dipengaruhi secara signifikan oleh model pembelajaran yang dikembangkan guru khususnya yang mampu menciptakan kesempatan dan dorongan bagi siswa untuk berkembang.
3.      Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual adalah suatu pendekatan yang memungkinkan terjadinya proses belajar dan di dalamnya siswa dimungkinkan menerapkan pemahaman serta kemampuan akademik mereka dalam berbagai variasi konteks, di dalam maupun luar kelas, untuk menyelesaikan permasalahan nyata atau yang disimulasikan baik secara sendiri-sendiri maupun berkelompok. Aktivitas yang diciptakan dalam pengajaran kontekstual memuat strategi yang dapat membantu siswa membuat kaitan dengan peran dan tangungjawab mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, siswa sendiri, dan sebagai pekerja.
Proses belajar yang diciptakan melalui kegiatan seperti ini secara umum bercirikan beberapa hal berikut: berbasis masalah, self-regulated, muncul dalam berbagai variasi konteks yang meliputi masyarakat dan tempat kerja, melibatkan kelompok belajar, dan responsif terhadap perbedaan kebutuhan serta minat siswa. Selain itu, pengajaran kotekstual memberikan penekanan pada penggunaan berfikir tingkat tinggi; trasfer pengetahuan; dan pengumpulan, analisis, serta sintesis informasi dan data dari berbagai sumber serta sudut pandang. Dalam kaitannya dengan evaluasi, pengajaran kontekstual lebih menekankan pada authentic assessment yang diperoleh dari berbagai sumber dan pelaksanaannya menyatu atau terintegrasi dengan proses pembelajaran.
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM). Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu strategi yang dimulai dengan menghadapkan siswa pada masalah nyata atau masalah yang disimulasikan. Pada saat siswa menghadapi masalah tersebut, mereka mulai menyadari bahwa hal demikian dapat dipandang dari berbagai perspektif serta untuk menyelesaikannya diperlukan pengintegrasian informasi dari berbagai disiplin ilmu.
Menurut Sears dan Hersh (2001, h.7), pembelajaran berbasis masalah ini dapat melibatkan siswa dalam berfikir tingkat tinggi dan pemecahan masalah. Selanjutnya Pierce dan Jones (2001, h. 71-74) mengemukakan karakteristik pembelajaran berdasarkan digunakan atau tidak digunakannya pendekatan PBM. Jika tidak banyak karakteristik PBM yang muncul dalam pembelajaran, maka pendekatan yang digunakan termasuk PBM rendah. Sedangkan pada sisi lain, jika siswa terlibat secara aktif dalam kegiatan-kegiatan yang mencerminkan segmen-segmen PBM, maka pendekatan yang digunakan tergolong pada PBM tinggi. Segmen-segmen PBM tersebut secara lengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan, yang mencakup beberapa hal seperti: (1) mempersiapkan siswa untuk dapat perperan sebagai self-directed problem solvers yang dapat berkolaborasi dengan fihak lain; (2) menghadapkan siswa pada suatu situasi yang dapat mendorong mereka untuk mampu menemukan masalahnya; dan (3) meneliti hakekat permasalahan yang dipersiapkan sambil mengajukan dugaan-dugaan serta rencana penyelesaian masalah.
2. Investigasi, meliputi kegiatan: (1) mengeksplorasi berbagai cara menjelaskan kejadian serta implikasinya, dan (2) mengumpulkan serta mendistribusikan informasi.
3. Penyajian Hasil: menyajikan temuan-temuan.
4. Tanya-Jawab/Diskusi: (1) menguji kelemahan dan keunggulan solusi yang dihasilkan, dan (2) melakukan refleksi atas efektivitas seluruh pendekatan yang telah digunakan dalam penyelesaian masalah.
Belajar dengan Multi Konteks. Belajar dengan multi konteks yang didasarkan pada teori belajar dan teori kognisi saat ini mengisyaratkan bahwa pengetahuan dan belajar hendaknya diperoleh serta dilakukan melalui suatu pengkondisian yang melibatkan konteks sosial dan fisik. Teori kognisi mengasumsikan, bahwa pengetahuan tidak mungkin dapat dipisahkan dari konteks dan aktivitas yang terkait dengan proses pengembangan pengetahuan tersebut. Dengan demikian, bagaimana seseorang belajar suatu pengetahuan dan keterampilan, serta situasi dimana dia belajar, merupakan bagian yang sangat mendasar dalam terjadinya proses belajar.
Pada beberapa dekade terahir ini, para pendidik dan peneliti telah banyak mencurahkan perhatiannya untuk mencoba mengembangkan bagaimana agar aspek-aspek yang dipelajari anak di sekolah bermanfaat bagi konteks lain di luar sekolah. Isu terbaru mengenai hal ini antara lain adalah adanya interes dan kecenderungan untuk menciptakan konteks serta situasi lebih baik dalam setting yang lebih bermakna sehingga, manakala anak meninggalkan sekolah mereka diharapkan mampu memanfaatkan resultan pengetahuan yang diperoleh di sekolah dalam kehidupannya di masyarakat.
Diskusi tentang contextual learning sangat terkait erat dengan ide-ide baru tentang hakekat kognisi dan belajar. Istilah-istilah seperti situated cognition, authentic activities, distributed cognition, dan communities of practice pada saat ini merupakan topik-topik pembicaraan yang sangat populer dikalangan para ahli pendidikan dan psikologi. Semua pembicaraan tentang konsep tersebut pada dasarnya merupakan suatu bukti pentingnya konteks dalam proses belajar. Sebagai contoh, bagaimana kita bisa mengidentifikasi pengetahuan serta keterampilan tertentu yang diperlukan siswa pada kehidupannya dikemudian hari, sementara perubahan yang terjadi di masyarakat berlangsung secara cepat sehingga pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkanpun juga berubah secara cepat? Bagaimana kita menciptakan konteks dan pengalaman belajar bagi siswa sehingga mampu memberdayakan mereka menjadi pembelajar mandiri dan pemecah masalah sepanjang hidupnya? Dua pertanyaan tersebut mengisyaratkan pentingnya pembelajaran kontekstual yang diharapkan dapat memberdayakan siswa untuk menjadi individu yang mampu secara mandiri menghadapi setiap permasalahan dikemudian hari baik di jenjang sekolah lebih tinggi ataupun di lingkungan masyarakat.
Self-Regulated Learning (SRL). SRL mencakup tiga karakteristik sentral yaitu: (1) kesadaran berfikir, (2) penggunaan strategi, dan (3) pemeliharaan motivasi. Pengembangan sifat self-regullated pada diri seseorang meliputi peningkatan kesadaran tentang berpikir efektif serta kemampuan menganalisis kebiasaan berpikir. Seseorang memiliki peluang untuk mengembangkan keterlibatannya dalam self-observation, self-evaluation, dan self-reaction untuk mengarahkan tiap rencana yang dia buat, strategi yang dipilih, serta evaluasi tentang pekerjaan yang dihasilkan. Aspek kedua dari SRL meliputi strategi untuk belajar, mengontrol emosi, dan aspek-aspek lain yang menunjang terbentuknya kemampuan penggunaan strategi.
Dan dalam kaitannya dengan pemeliharaan motivasi, beberapa aspek berikut perlu diperhatikan: tujuan aktivitas yang dilakukan, tingkat kesulitan serta nilainya, persepsi siswa tentang kemampuannya untuk mencapai tujuan tersebut, dan persepsi siswa apabila mereka berhasil atau gagal mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, SRL meliputi sikap, strategi, serta motivasi yang dapat meningkatkan upaya siswa dalam belajar.
Peranan siswa dan guru dalam self-regulated learning dapat dirangkum dalam tabel berikut ini.
Tabel 1. Peran Siswa dan Guru dalam SLR

Peran Siswa
Peran Guru


Mengambil peran dalam proses belajar

Mendefinisikan tujuan belajar serta masalah yang bermakna secara personal

Menumbuhkan motivasi dari kebermaknaan tujuan, proses, dan keterlibatan dalam belajar

Mempertimbangkan berbagai pilihan strategi serta memilih strategi yang dianggap paling mungkin mencapai tujuan

Menyadari serta melakukan monitor atas proses berpikir sendiri dan secara terus-menerus mencoba mengembangkannya

Memperoleh makna serta pengetahuan dan melakukan transfer atau aplikasi pada pemecahan masalah yang dihadapi secara kreatif

Berpikir secara reflektif sebagai alat untuk mengembangkan pendekatan kognitif dan transfer pengetahuan

Berpartisipasi dalam pengembangan serta penggunaan esesmen untuk mengevaluasi kemajuan sendiri.



Menyediakan lingkungan belajar yang memungkinkan self-regulated dalam belajar pada diri siswa berkembang

Menciptakan kesempatan untuk terjadinya self-directed activities, collaborative work, dan sharing of knowledge

Membimbing siswa dalam hal bagaimana belajar

Bertindak sebagai fasilitator dan pembimbing

Menjadi model, mediator, dan pembina yang sesuai dengan kebutuhan siswa

Membantu siswa untuk menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya

Membantu siswa untuk senantiasa memperbaiki dan mengembangkan strategi pemecahan masalah yang digunakan

Aktif mendengarkan, bertanya, menyediakan balikan, serta menolong siswa untuk selalu berfokus pada permasalahan yang dihadapi.

3 comments: