A. Perkembangan Kurikulum
Matematika Sekolah
Perkembangan kurikulum matematika
sekolah, khususnya ditinjau dari implementasi dan aspek teori belajar yang
melandasinya, merupakan faktor yang sangat menarik dalam pembicaraan tentang pendidikan
matematika. Hal ini dapat difahami sebab perubahan-perubahan yang terjadi dalam
proses pembelajaran matematika sekolah tidak terlepas dari adanya perubahan
pandangan tentang hakekat matematika dan belajar matematika. Sebagai akibatnya,
tidaklah mengherankan apabila terjadi perubahan kurikulum, maka berubah pulalah
proses pembelajaran di dalam kelas.
Sejak tahun 1968, di Indonesia
telah terjadi beberapa kali perubahan kurikulum matematika sekolah. Berdasarkan
tahun terjadinya perubahan untuk tiap kurikulum, maka muncullah nama-nama
kurikulum berikut: Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum
1996, dan Kurikulum 1999. Selain itu, Sebelum muncul Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), pada tahun 2002 telah disusun sebuah kurikulum yang disebut
Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Berdasarkan literatur yang ada,
ciri-ciri pembelajaran matematika pada kurikulum 1968 antara lain adalah
sebagai berikut:
a.
Dalam
pengajaran geometri, penekanan lebih diberikan pada keterampilan berhitung,
misalnya menghitung luas bangun geometri datar atau volume bangun geometri
ruang, bukan pada pengertian bagaimana rumus-rumus untuk melakukan perhitungan
tersebut diperoleh (Ruseffendi, 1985, h.33).
b.
Lebih
mengutamakan hafalan yang sifatnya mekanis daripada pengertian (Ruseffendi,
1979, h.2).
c.
Program
berhitung kurang memperhatikan aspek kontinuitas dengan materi pada jenjang
berikutnya, serta kurang terkait dengan dunia luar (Ruseffendi, 1979, h.4).
d.
Penyajian
materi kurang memberikan peluang untuk tumbuhnya motivasi serta rasa ingin tahu
anak (Ruseffendi, 1979, h.5).
Jika dilihat dari
ciri-cirinya, pengajaran matematika pada kurikulum ini dimulai dengan
penjelasan singkat yang disertai tanya-jawab dan penyajian contoh, serta
dilanjutkan dengan pengerjan soal-soal latihan baik yang bersifat prosedural
atau penggunaan rumus tertentu. Dalam proses pengajaran tersebut, pengerjaan
soal-soal latihan merupakan kegiatan yang diutamakan dengan maksud untuk
memberi penguatan pada apa yang sudah dicontohkan guru di depan kelas. Dengan
demikian, latihan untuk menghafalkan fakta dasar, algoritma, atau penggunaan
rumus-rumus tertentu dapat dilakukan melalui pengerjan soal-soal yang
diberikan.
Menurut Skinner
(dalam Ruseffendi, 1988, h.171), untuk menguatkan pemahaman siswa tentang apa
yang baru dipelajari, maka setelah terjadinya proses stimulus-respon yang
antara lain berupa tanya-jawab dalam proses pengajaran, harus dilanjutkan
dengan memberikan penguatan antara lain berupa latihan soal-soal. Dengan
demikian teori belajar yang dominan digunakan dalam implementasi kurikulum
matematika 1968 adalah teori belajar dari Skinner.
Pada tahun 1975,
terjadi perubahan yang sangat besar dalam pengajaran matematika di Indonesia
yang ditandai dengan dimasukannya matematika moderen ke dalam kurikulum 1975.
Menurut Ruseffendi (1979, h.12-14), matematika moderen tersebut memiliki
karakteristik sebagai berikut:
a.
Terdapat
topik-topik baru yang diperkenalkan yaitu himpunan, geometri bidang dan ruang,
statistika dan probabilitas, relasi, sistem numerasi kuno, dan penulisan
lambang bilangan nondesimal. Selain itu diperkenalkan pula konsep-konsep baru
seperti penggunaan himpunan, pendekatan pengajaran matematika secara spiral,
dan pengajaran geometri dimulai dengan lengkungan.
b.
Terjadi
pergeseran dari pengajaran yang lebih menekankan pada hafalan ke pengajaran
yang mengutamakan pengertian.
c.
Soal-soal
yang diberikan lebih diutamakan yang bersifat pemecahan masalah daripada yang
bersifat rutin.
d.
Ada
kesinambungan dalam penyajian bahan ajar antara Sekolah Dasar dan Sekolah
Lanjutan.
e.
Terdapat
penekanan kepada struktur.
f.
Program
pengajaran pada matematika moderen lebih memperhatikan adanya keberagaman antar
siswa.
g.
Terdapat
upaya-upaya penggunaan istilah yang lebih tepat.
h.
Ada
pergeseran dari pengajaran yang berpusat pada guru ke pengajaran yang lebih
berpusat pada siswa.
i.
Sebagai
akibat dari pengajaran yang lebih berpusat pada siswa, maka metode mengajar
yang lebih banyak digunakan adalah penemuan dan pemecahan masalah dengan teknik
diskusi.
j.
Terdapat
upaya agar pengajaran matematika dilakukan dengan cara yang menarik, misalnya
melalui permainan, teka-teki, atau kegiatan lapangan.
Berdasarkan ciri-ciri pengajaran
matematika moderen di atas, maka teori belajar yang dipergunakan lebih bersifat
campuran. Hal ini sesuai dengan pendapat Ruseffendi (1988, h.178) yang
menyatakan bahwa teori belajar-mengajar yang dipergunakan pada saat itu adalah
campuran antara teori pengaitan dari Thorndike, aliran psikologi perkembangan
seperti teori Piaget, serta aliran tingkah laku dari Skinner dan Gagne. Namun
demikian, Ruseffendi selanjutnya menambahkan bahwa teori yang lebih dominan
digunakan adalah aliran psikologi perkembangan seperti dari Piaget dan Bruner
sebab yang menjadi sentral pengajaran matematika adalah pemecahan masalah.
Perubahan dari Kurikulum 1975 ke
Kurikulum 1984 sebenarnya tidak terlalu banyak baik dari sisi materi maupun
cara pengajarannya. Perbedaan utama dengan kurikulum sebelumnya, pada Kurikulum
1984 ini materi pengenalan komputer mulai diberikan. Menurut Ruseffendi (1988,
h.102), dimasukannya materi komputer ke dalam kurikulum matematika sekolah
merupakan suatu langkah maju. Hal ini dapat difahami, karena penggunaan
alat-alat canggih seperti komputer dan kalkulator dapat memungkinkan siswa
untuk melakukan kegiatan eksplorasi dalam proses belajar matematika mereka baik
dengan menggunakan pola-pola bilangan maupun grafik.
Jika dilihat dari ciri-cirinya
yang tidak jauh berbeda dengan kurikulum sebelumnya, maka teori belajar yang
digunakan pada pengajaran matematika kurikulum 1984 ini juga lebih bersifat
campuran antara teori pengaitan, aliran psikologi perkembangan, dan aliran
tingkah laku.
Pada tahun 1994 terjadi lagi
perubahan terhadap kurikulum pendidikan sekolah mulai tingkat SD sampai SMU.
Pada bidang matematika, terdapat beberapa perubahan baik dari sisi materi
maupun pengajarannya. Yang menjadi bahan kajian inti untuk matematika sekolah
dasar adalah: aritmetika (berhitung), pengantar aljabar, geometri, pengukuran,
dan kajian data (pengantar statistika). Pada kurikulum matematika SD ini,
terdapat penekanan khusus pada penguasaan bilangan (number sense)
termasuk di dalamnya berhitung. Untuk SLTP, bahan kajian intinya mencakup:
aritmetika, aljabar, geometri, peluang, dan statistika. Dalam kurikulum ini
terdapat upaya untuk menanamkan pemikiran deduktif yang ketat melalui struktur
deduktif terbatas pada sebagian bahan geometri. Materi matematika untuk SMU
terdapat sedikit perubahan yakni dimasukannya pengenalan teori graf yang
merupakan bagian dari matematika diskrit.
Berdasarkan ciri-ciri yang
dimiliki kurikulum matematika sekolah tahun 1994, perubahan yang sangat
mendasar terjadi di sekolah dasar. Perubahan tersebut adalah adanya penekanan
khusus yang diberikan pada penguasaan bilangan, termasuk di dalamnya berhitung.
Implikasi dari perubahan ini, adalah digunakannya kembali secara dominan teori
belajar dari dari Skinner. Sementara itu, pengajaran matematika untuk tingkat
SLTP dan SMU nampaknya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Dengan demikian untuk tingkat
SLTP dan SMU teori belajar yang digunakan dalam proses belajar-mengajar masih
bersifat campuran dengan dominasi ada pada penerapan aliran psikologi
perkembangan.
Sebagai langkah penyempurnaan
pada Kurikulum 1994, terjadi sejumlah reduksi serta restrukturisasi materi
bahan ajar sehingga muncul Kurikulum 1994. Sebagai contoh, beberapa bagian dari
pokok bahasan himpunan di SLTP dihilangkan, dan pengantar teori graf di SMU
juga dihilangkan. Selain itu, terdapat juga perubahan-perubahan kecil dan
penyusunan kembali urutan penyajian untuk pokok-pokok bahasan tertentu. Selain
dari hal tersebut, sebagian besar dari materi kurikulum 1999 hampir sama dengan
kurikulum 1994. Dengan demikian, teori belajar yang digunakan pada kurikulum
1999 ini masih sama dengan yang digunakan pada implementasi kurikulum
sebelumnya.
Pada tahun 2002, Pusat Kurikulum
mengeluarkan dokumen kurikulum baru yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Beberapa ciri penting dari kurikulum tersebut antara lain adalah sebagai
berikut:
a.
Karena
kurikulum ini dikembangkan berdasarkan kompetensi tertentu, maka kurikulum 2002
diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi.
b.
Berpusat
pada anak sebagai pengembang pengetahuan.
c.
Terdapat
penekanan pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah; kemampuan berpikir
logis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan meng-komunikasikan gagasan secara
matematik.
d.
Cakupan
materi untuk sekolah dasar meliputi: bilangan, geometri dan pengukuran,
pengolahan data, pemecahan masalah, serta penalaran dan komunikasi.
e.
Cakupan
materi untuk SLTP meliputi: bilangan, aljabar, geometri dan pengukuran, peluang
dan statistika, pemecahan masalah, serta penalaran dan komunikasi.
f.
Cakupan
materi untuk SMU meliputi: aljabar, geometri dan pengukuran, trigonometri,
peluang dan statistika, kalkulus, logika matematika, pemecahan masalah, serta
penalaran dan komunikasi.
g.
Kurikulum
berbasis kompetensi ini secara garis besarnya mencakup tiga komponen yaitu
kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian hasil belajar.
h.
Kemampuan
pemecahan masalah serta penalaran dan komunikasi bukan merupakan
pokok bahasan tersendiri, melainkan harus dicapai melalui proses belajar dengan
mengintegrasikan topik-topik tertentu yang sesuai.
Jika dibandingkan dengan
kurikulum sebelumnya, kurikulum berbasis kompetensi ini memuat perubahan yang
cukup mendasar terutama dalam hal penerapan pandangan bahwa dalam proses
belajar, anak dianggap sebagai pengembang pengetahuan. Selain itu, adanya
penekanan pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah; berfikir logis,
kritis, dan kreatif; serta mengkomunikasikan gagasan secara matematik, maka
teori belajar yang dominan digunakan kemungkinannya adalah aliran psikologi
perkembangan serta konstruktivisme.
Dalam penerapannya, guru antara
lain harus mampu menciptakan suatu kondisi sehingga proses asimilasi dan
akomodasi seperti yang dikemukakan Piaget dapat berjalan secara efektif. Selain
itu, guru juga harus memperhatikan adanya keberagaman kemampuan di antara siswa
sehingga dengan kondisi tertentu yang diciptakan guru, maka potensi masing-masing
siswa dapat berkembang secara optimal.
B. Pendekatan Pembelajaran yang
Banyak Diadaptasi di Indonesia
Dalam beberapa tahun terahir ini
paling sedikit terdapat tiga isu penting mengenai pengajaran matematika yaitu
pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dari Belanda,
pendekatan Open-Ended dari Jepang, dan pendekatan kontekstual dari
Amerika Serikat. Di bawah ini adalah uraian singkat mengenai masing-masing
pendekatan tersebut.
1. Pendekatan Realistik
Realistic Mathematics Education (RME) pertama kali berkembang di
Belanda sejak awal tahun 70-an. Adapun orang yang pertama mengembangkannya
adalah Freudenthal dan kawan-kawan dari Freudenthal Institute. Dalam pandangan
Freudenthal, agar matematika memiliki nilai kemanusiaan (human value) maka
pembelajarannya haruslah dikaitkan dengan realita, dekat dengan pengalaman anak
serta relevan untuk kehidupan masyarakat. Selain itu Freudenthal juga
berpandangan bahwa matematika sebaiknya tidak dipandang sebagai suatu bahan
ajar yang harus ditransfer secara langsung sebagai matematika siap pakai,
melainkan harus dipandang sebagai suatu aktivitas manusia.
Pembelajaran matematika sebaiknya
dilakukan dengan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak untuk mencoba
menemukan sendiri melalui bantuan tertentu dari guru. Dalam istilah Freudenthal
kegiatan seperti ini disebut guided reinvention, yakni suatu kegiatan
yang mendorong anak untuk menemukan prinsip, konsep, atau rumus-rumus
matematika melalui kegiatan pembelajaran yang secara spesifik dirancang oleh
guru. Dengan demikian, prinsip utama pembelajaran matematika tidaklah terletak
pada matematika sebagai suatu sistem tertutup yang kaku, melainkan pada
aktivitasnya yang lebih dikenal sebagai suatu proses matematisasi (process
of mathematization) (Van den Heuvel-Panhuizen, 2000).
Pada perkembangan selanjutnya,
Treffers (dalam van den Heuvel-Panhuizen, 2000) mencoba memformulasikan proses
matematisasi, dalam konteks pendidikan matematika, menjadi dua tipe yakni
matematisasi horizontal dan vertikal. Dalam tahap horizontal, pada ahirnya anak
akan sampai pada mathematical tools seperti konsep, prinsip, algoritma,
atau rumus yang dapat digunakan untuk membantu mengorganisasi serta memecahkan
permasalahan yang didesain terkait dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Matematisasi vertikal adalah suatu proses reorganisasi yang terjadi dalam
sistem matematika sendiri, misalnya, menemukan suatu keterkaitan antara
beberapa konsep dan strategi serta mencoba menerapkannya dalam menyelesaikan
masalah yang diberikan.
Dengan demikian, matematisasi
horizontal memuat suatu proses yang diawali dari dunia nyata menuju dunia
simbol, sedangkan matematisasi vertikal mengandung makna suatu proses
perpindahan dalam dunia simbol itu sendiri. Menurut Freudenthal, kedua proses
matematisasi ini tidak bisa dipandang secara sendiri-sendiri, melainkan
merupakan suatu kesatuan yang memiliki nilai sama pentingnya dalam proses
pembelajaran matematika.
Pada tahun 1998, Indonesia mulai
melirik pendekatan RME ini yang antara lain ditandai dengan pengiriman sejumlah
dosen untuk mengambil program S3 di Belanda. Di antara mereka yang mengambil S3
dalam bidang pendidikan matematika diharuskan berkonsentrasi pada pembelajaran
matematika dengan pendekatan RME. Awal tahun 2001, DIKTI melalui proyek PGSM
mencoba menginisiasi ujicoba pembelajaran dengan pendekatan RME ini di
kelas-kelas awal sekolah dasar. Perguruan Tinggi yang terlibat dalam uji coba
ini adalah Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta,
Universitas Sanata Dharma, dan Universitas Negeri Surabaya. Adapun beberapa
sekolah yang terlibat untuk kawasan Bandung adalah SDPN yang ada di lingkungan
UPI, SDN Sabang, dan MIN Cicendo.
RME mencerminkan suatu pandangan
tentang matematika sebagai sebuah subject matter, bagaimana anak belajar
matematika, dan bagaimana matematika seharusnya diajarkan. Pandangan ini
terurai dalam enam karakteristik RME yang akan diuraikan berikut ini.
Prinsip Aktivitas.Menurut Freudenthal, karena ide
proses matematisasi berkaitan erat dengan pandangan bahwa matematika merupakan
aktivitas manusia, maka cara terbaik untuk mempelajari matematika adalah
melalui doing yakni dengan mengerjakan masalah-masalah yang didesain
secara khusus. Anak tidak dipandang sebagai individu yang hanya siap menerima
konsep-konsep matematika siap-pakai secara pasif, melainkan harus diperlakukan
sebagai partisipan aktif dalam keseluruhan proses pendidikan sehingga mereka
mampu mengembangkan sejumlah mathematical tools yang kedalaman serta
liku-likunya betul-betul dihayati.
Prinsip Realitas. Seperti halnya dalam pendekatan
pembelajaran matematika pada umumnya, tujuan utama RME adalah agar siswa mampu
mengaplikasikan matematika. Dengan demikian tujuan pengajaran matematika yang
paling utama adalah agar siswa mampu menggunakan matematika yang mereka pahami
untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam RME, prinsip realitas ini
tidak hanya dikembangkan pada tahap ahir dari suatu proses pembelajaran
melainkan dipandang sebagai suatu sumber untuk belajar matematika. Karena
matematika tumbuh dari matematisasi realitas, maka selayaknya belajar
matematika-pun harus diawali dengan proses matematisasi realitas.
Prinsip Tahap Pemahaman. Proses belajar matematika
mencakup berbagai tahapan pemahaman mulai dari pengembangan kemampuan menemukan
solusi informal yang berkaitan dengan konteks, menemukan rumus dan skema,
sampai menemukan prinsip-prinsip keterkaitan. Persyaratan untuk sampai pada
tahap pemahaman berikutnya menuntut adanya kemampuan untuk merefleksi aktivitas
pengerjaan tugas-tugas matematika yang telah dilakukan. Aspek refleksi ini
dapat terungkap melalui kegiatan yang melibatkan proses interaksi. Model-model
yang dikembangkan oleh siswa pada proses selanjutnya akan menjadi modal utama
sebagai jembatan antara tahap informal, konteks matematika yang berkaitan dan
tahap matematika formal.
Prinsip Intertwinement. Salah satu karakteristik dari RME
dalam kaitannya dengan matematika sebagai bahan ajar, adalah bahwa matematika
tidak dipandang sebagai suatu bahan ajar yang terpisah-pisah. Dengan demikian,
menyelesaikan suatu masalah matematika yang kaya-konteks mengandung arti bahwa
siswa memiliki kesempatan untuk menerapkan berbagai konsep, rumus, prinsip,
serta pemahaman secara terpadu dan saling berkaitan.
Prinsip Interaksi. Dalam pendekatan RME, proses
belajar matematika dipandang sebagai suatu aktivitas sosial. Dengan kata lain
siswa diberi kesempatan untuk melakukan tukar pengalaman, strategi
penyelesaian, serta temuan lainnya di antara sesama mereka. Dengan mendengarkan
apa yang ditemukan orang lain serta mendiskusikannya, siswa dimungkinkan untuk
meningkatkan strategi yang mereka temukan sendiri. Dengan demikian, interaksi
memungkinkan siswa untuk melakukan refleksi yang pada ahirnya akan mendorong
mereka pada perolehan pemahaman yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Prinsip Bimbingan. Salah satu prinsip kunci yang
diajukan Freudenthal dalam pembelajaran matematika adalah perlunya bimbingan
agar siswa mampu menemukan kembali matematika. Implikasi dari
pandangan ini adalah bahwa baik guru maupun program pendidikan memegang peran
yang sangat pital dalam proses bagaimana siswa memperoleh pengetahuan.
Prinsip aktivitas dalam RME yang
memberikan penekanan pada pentingnya siswa untuk melakukan sesuatu yang
merupakan bagian dari kegiatan bermatematika nampaknya dapat memberikan peluang
bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematik mereka. Hal ini
disebabkan karena kegiatan bermatematika pada dasarnya merupakan aktivitas yang
dapat dilakukan baik secara individual maupun berkelompok. Aktivitas individual
dapat menjadi landasan yang efektif untuk terjadinya interaksi konstruktif
dalam kegiatan kelompok.
Demikian pula sebaliknya, hasil
interaksi dalam kegiatan kelompok dapat menjadi pendorong untuk terjadinya
proses berpikir lebih lanjut dalam tataran individual. Prinsip aktivitas yang
sekaligus dapat mendorong terlaksananya prinsip interaksi, memiliki peran yang
sangat penting dalam pengembangan kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi,
karena aspek-aspek berpikir seperti matematisasi situasi, melakukan analisis,
melakukan interpretasi, mengembangkan model sendiri, memberikan argumen
matematik, dan membuat generalisasi pada hakekatnya merupakan rangkaian
aktivitas bermatematika.
Interaksi antar siswa dalam
konteks aktivitas bermatematika yang antara lain bisa dilakukan dalam bentuk
dikusi, mengajukan argumentasi, atau memberikan jastifikasi pada gilirannya
dapat mendorong terjadinya refleksi atas hasil atau tahapan yang telah dicapai.
Refleksi yang terjadi pada tataran individu maupun kelompok pada akhirnya akan
memunculkan peluang terjadinya peningkatan pemahaman pada masing-masing siswa.
Dan tidak mustahil, peningkatan pemahaman ini selanjutnya akan mendorong
terjadinya proses berpikir lanjutan ke tahapan yang lebih tinggi lagi dari yang
sudah dicapai sebelumnya.
Dengan demikian, prinsip tahap
pemahaman yang dikembangkan dalam RME pada hakekatnya merupakan upaya mendorong
terjadinya peningkatan proses berpikir pada diri siswa secara bertahap sehingga
mencapai tingkatan optimal sesuai kemampuannya.
Realitas situasi yang terjangkau
oleh pemikiran seseorang merupakan sarana efektif untuk terjadinya proses
berpikir yang konstruktif. Hal ini disebabkan karena konteks yang dikenal dapat
menstimulasi proses berpikir secara konstruktif pada saat penyelesaian suatu
masalah. Belajar dengan multi konteks yang didasarkan pada teori belajar dan
teori kognisi mengisyaratkan bahwa pengetahuan dan belajar hendaknya diperoleh
serta dilakukan melalui suatu pengkondisian yang melibatkan konteks yang
dikenal anak.
Teori kognisi mengasumsikan,
bahwa pengetahuan tidak mungkin dapat dipisahkan dari konteks dan aktivitas
yang terkait dengan proses pengembangan pengetahuan tersebut. Dengan demikian,
bagaimana seseorang belajar suatu pengetahuan dan keterampilan, serta situasi
dimana dia belajar, merupakan bagian yang sangat mendasar dalam terjadinya
proses belajar. Dengan demikian, konteks dan aktivitas dalam pembelajaran
sebaiknya diciptakan dalam bentuk yang bermakna bagi siswa.
Realitas yang dapat dimaknai
sebagai konteks yang dikenal anak pada ahirnya akan berperan sebagai
komponen-komponen dari suatu skema berpikir. Dalam skema tersebut dimungkinkan
terjadinya pengaitan berbagai konteks maupun konsep matematika. Dalam situasi
seperti ini, proses berpikir yang terjadi dapat melibatkan berbagai aspek dari
tiap tahapan berpikir termasuk dari tahapan yang paling tinggi. Dengan
demikian, prinsip realitas dan inter-twinment dapat dimanfaatkan untuk
mendorong proses berpikir seseorang ke tahapan yang lebih tinggi dari tahapan
yang sudah dicapai sebelumnya.
2. Pendekatan Open-Ended
Uraian tentang pendekatan Open-Ended
yang disajikan berikut ini dikembangkan berdasarkan tulisan Becker dan
Shimada (1997) berjudul The Open-Ended Approach: A New Proposal for Teaching
Mathematics. Antara tahun 1971 dan 1976 para ahli pendidikan matematika
Jepang melakukan serangkaian penelitian yang berfokus pada pengembangan metoda
evaluasi untuk mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam pendidikan
matematika. Rangkaian penelitian tersebut adalah sebagai berikut: (1) Studi
pengembangan metoda evaluasi dalam pendidikan matematika, tahun 1971, (2) Studi
pengembangan metoda evaluasi dan analisis pengaruh faktor-faktor belajar dalam
pendidikan matematika, tahun 1972-1973, dan (3) Studi pengembangan metoda
evaluasi untuk mengukur kemampuan siswa dalam keterampilan berpikir matematik
tingkat tinggi, tahun 1974-1976.
Pada tahap pertama dari
serangkaian studi yang dilakukan, perhatian difokuskan pada penelaahan
efektivitas penggunaan open-ended problems sebagai suatu metoda evaluasi
untuk mengukur keterampilan berpikir matematik tingkat tinggi. Karena
hasil-hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa penggunaan open-ended
problems ternyata mengandung potensi yang sangat besar untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran matematika, maka selanjutnya dilakukan sintesis terhadap
semua hasil penelitian di atas sehingga dihasilkan sebuah buku yang bisa dibaca
secara luas oleh masyarakat pendidikan matematika internasional.
Dalam bagian buku tersebut
dijelaskan, pembelajaran matematika tradisional antara lain bercirikan bahwa
soal-soal yang dikembangkan baik dalam buku ajar maupun yang disajikan dalam
proses pembelajaran biasanya hanya memiliki jawaban benar yang tunggal. Dengan
demikian jawaban siswa hanya berkisar pada dua kemungkinan yakni benar atau
salah. Masalah seperti ini selanjutnya disebut sebagai masalah tertutup (close
problems). Suatu masalah yang diformulasikan sedemikian sehingga memiliki
kemungkinan variasi jawaban benar baik dari aspek cara maupun hasilnya disebut
masalah open-ended. Dalam proses pembelajaran, manakala siswa dihadapkan
pada suatu masalah dan mereka diminta untuk mengembangkan metoda, cara, atau
pendekatan yang berbeda-beda dalam upaya memperolah jawaban benar, maka mereka
sebenarnya berhadapan dengan masalah yang bersifat open-ended. Dalam kasus
tersebut, siswa tidak hanya diminta untuk menentukan suatu jawaban yang benar
atas soal yang diberikan melainkan juga diminta untuk menjelaskan bagaimana
caranya sampai pada jawaban benar tersebut.
Pengembangan ide digunakannya
pendekatan open-ended diawali dari adanya keinginan untuk mengevaluasi
kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa dalam matematika. Dalam pembelajaran
matematika, serangkaian pengetahuan, keterampilan, konsep, prinsip, atau aturan
biasanya disajikan secara bertahap. Penyajian secara bertahap ini bukan
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa satu topik lebih penting dari topik lainnya
atau mencoba memisahkan tiap konsep dari konsep lainnya. Hal tersebut dilakukan
dengan maksud untuk membangun suatu pemahaman secara gradual-bertahap yang pada
ahirnya menuju pada pemahaman yang lebih terintegrasi. Untuk mengetahui sejauh
mana pemahaman yang sudah dicapai, khususnya menyangkut kemampuan berpikir
tingkat tingginya, maka diperlukan cara mengevaluasi yang lebih bersifat tidak
rutin sebagaimana soal-soal yang biasa muncul dalam buku ajar, ulangan harian,
atau ujian.
Berdasarkan hasil-hasil
penelitian yang dilakukan, diperoleh suatu kesimpulan umum antara lain bahwa
tujuan pembelajaran tingkat tinggi dimungkinkan untuk dikembangkan melalui
pendekatan yang bersifat open-ended. Perkembangan perolehan
komponen-komponen pengetahuan dan keterampilan yang berguna untuk mencapai tujuan
pembelajaran tingkat tinggi, tidak hanya tergantung pada kemampuan bawaan siswa
(talenta), akan tetapi juga sangat dipengaruhi secara signifikan oleh model
pembelajaran yang dikembangkan guru khususnya yang mampu menciptakan kesempatan
dan dorongan bagi siswa untuk berkembang.
3. Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual adalah
suatu pendekatan yang memungkinkan terjadinya proses belajar dan di dalamnya
siswa dimungkinkan menerapkan pemahaman serta kemampuan akademik mereka dalam
berbagai variasi konteks, di dalam maupun luar kelas, untuk menyelesaikan
permasalahan nyata atau yang disimulasikan baik secara sendiri-sendiri maupun
berkelompok. Aktivitas yang diciptakan dalam pengajaran kontekstual memuat
strategi yang dapat membantu siswa membuat kaitan dengan peran dan tangungjawab
mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, siswa sendiri, dan sebagai
pekerja.
Proses belajar yang diciptakan
melalui kegiatan seperti ini secara umum bercirikan beberapa hal berikut:
berbasis masalah, self-regulated, muncul dalam berbagai variasi konteks yang
meliputi masyarakat dan tempat kerja, melibatkan kelompok belajar, dan
responsif terhadap perbedaan kebutuhan serta minat siswa. Selain itu,
pengajaran kotekstual memberikan penekanan pada penggunaan berfikir tingkat
tinggi; trasfer pengetahuan; dan pengumpulan, analisis, serta sintesis
informasi dan data dari berbagai sumber serta sudut pandang. Dalam kaitannya
dengan evaluasi, pengajaran kontekstual lebih menekankan pada authentic
assessment yang diperoleh dari berbagai sumber dan pelaksanaannya menyatu atau
terintegrasi dengan proses pembelajaran.
Pembelajaran Berbasis Masalah
(PBM).
Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu strategi yang dimulai dengan
menghadapkan siswa pada masalah nyata atau masalah yang disimulasikan. Pada
saat siswa menghadapi masalah tersebut, mereka mulai menyadari bahwa hal
demikian dapat dipandang dari berbagai perspektif serta untuk menyelesaikannya
diperlukan pengintegrasian informasi dari berbagai disiplin ilmu.
Menurut Sears dan Hersh (2001,
h.7), pembelajaran berbasis masalah ini dapat melibatkan siswa dalam berfikir
tingkat tinggi dan pemecahan masalah. Selanjutnya Pierce dan Jones (2001, h.
71-74) mengemukakan karakteristik pembelajaran berdasarkan digunakan atau tidak
digunakannya pendekatan PBM. Jika tidak banyak karakteristik PBM yang muncul
dalam pembelajaran, maka pendekatan yang digunakan termasuk PBM rendah.
Sedangkan pada sisi lain, jika siswa terlibat secara aktif dalam
kegiatan-kegiatan yang mencerminkan segmen-segmen PBM, maka pendekatan yang
digunakan tergolong pada PBM tinggi. Segmen-segmen PBM tersebut secara
lengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan, yang
mencakup beberapa hal seperti: (1) mempersiapkan siswa untuk dapat perperan
sebagai self-directed problem solvers yang dapat berkolaborasi dengan
fihak lain; (2) menghadapkan siswa pada suatu situasi yang dapat mendorong
mereka untuk mampu menemukan masalahnya; dan (3) meneliti hakekat permasalahan
yang dipersiapkan sambil mengajukan dugaan-dugaan serta rencana penyelesaian
masalah.
2. Investigasi, meliputi
kegiatan: (1) mengeksplorasi berbagai cara menjelaskan kejadian serta
implikasinya, dan (2) mengumpulkan serta mendistribusikan informasi.
3. Penyajian Hasil:
menyajikan temuan-temuan.
4. Tanya-Jawab/Diskusi:
(1) menguji kelemahan dan keunggulan solusi yang dihasilkan, dan (2) melakukan
refleksi atas efektivitas seluruh pendekatan yang telah digunakan dalam
penyelesaian masalah.
Belajar dengan Multi Konteks. Belajar dengan multi konteks yang
didasarkan pada teori belajar dan teori kognisi saat ini mengisyaratkan bahwa
pengetahuan dan belajar hendaknya diperoleh serta dilakukan melalui suatu
pengkondisian yang melibatkan konteks sosial dan fisik. Teori kognisi
mengasumsikan, bahwa pengetahuan tidak mungkin dapat dipisahkan dari konteks
dan aktivitas yang terkait dengan proses pengembangan pengetahuan tersebut.
Dengan demikian, bagaimana seseorang belajar suatu pengetahuan dan
keterampilan, serta situasi dimana dia belajar, merupakan bagian yang sangat
mendasar dalam terjadinya proses belajar.
Pada beberapa dekade terahir ini,
para pendidik dan peneliti telah banyak mencurahkan perhatiannya untuk mencoba
mengembangkan bagaimana agar aspek-aspek yang dipelajari anak di sekolah
bermanfaat bagi konteks lain di luar sekolah. Isu terbaru mengenai hal ini
antara lain adalah adanya interes dan kecenderungan untuk menciptakan konteks
serta situasi lebih baik dalam setting yang lebih bermakna sehingga, manakala
anak meninggalkan sekolah mereka diharapkan mampu memanfaatkan resultan
pengetahuan yang diperoleh di sekolah dalam kehidupannya di masyarakat.
Diskusi tentang contextual
learning sangat terkait erat dengan ide-ide baru tentang hakekat kognisi
dan belajar. Istilah-istilah seperti situated cognition, authentic
activities, distributed cognition, dan communities of practice pada saat
ini merupakan topik-topik pembicaraan yang sangat populer dikalangan para ahli
pendidikan dan psikologi. Semua pembicaraan tentang konsep tersebut pada
dasarnya merupakan suatu bukti pentingnya konteks dalam proses belajar. Sebagai
contoh, bagaimana kita bisa mengidentifikasi pengetahuan serta keterampilan
tertentu yang diperlukan siswa pada kehidupannya dikemudian hari, sementara
perubahan yang terjadi di masyarakat berlangsung secara cepat sehingga
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkanpun juga berubah secara cepat?
Bagaimana kita menciptakan konteks dan pengalaman belajar bagi siswa sehingga
mampu memberdayakan mereka menjadi pembelajar mandiri dan pemecah masalah sepanjang
hidupnya? Dua pertanyaan tersebut mengisyaratkan pentingnya pembelajaran
kontekstual yang diharapkan dapat memberdayakan siswa untuk menjadi individu
yang mampu secara mandiri menghadapi setiap permasalahan dikemudian hari baik
di jenjang sekolah lebih tinggi ataupun di lingkungan masyarakat.
Self-Regulated Learning (SRL). SRL mencakup tiga karakteristik
sentral yaitu: (1) kesadaran berfikir, (2) penggunaan strategi, dan (3)
pemeliharaan motivasi. Pengembangan sifat self-regullated pada diri seseorang
meliputi peningkatan kesadaran tentang berpikir efektif serta kemampuan
menganalisis kebiasaan berpikir. Seseorang memiliki peluang untuk mengembangkan
keterlibatannya dalam self-observation, self-evaluation, dan self-reaction
untuk mengarahkan tiap rencana yang dia buat, strategi yang dipilih, serta
evaluasi tentang pekerjaan yang dihasilkan. Aspek kedua dari SRL meliputi
strategi untuk belajar, mengontrol emosi, dan aspek-aspek lain yang menunjang
terbentuknya kemampuan penggunaan strategi.
Dan dalam kaitannya dengan
pemeliharaan motivasi, beberapa aspek berikut perlu diperhatikan: tujuan
aktivitas yang dilakukan, tingkat kesulitan serta nilainya, persepsi siswa
tentang kemampuannya untuk mencapai tujuan tersebut, dan persepsi siswa apabila
mereka berhasil atau gagal mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, SRL
meliputi sikap, strategi, serta motivasi yang dapat meningkatkan upaya siswa
dalam belajar.
Peranan siswa dan guru dalam self-regulated
learning dapat dirangkum dalam tabel berikut ini.
Tabel 1. Peran Siswa dan Guru
dalam SLR
Peran Siswa
|
Peran Guru
|
Mengambil peran dalam proses
belajar
Mendefinisikan tujuan belajar
serta masalah yang bermakna secara personal
Menumbuhkan motivasi dari
kebermaknaan tujuan, proses, dan keterlibatan dalam belajar
Mempertimbangkan berbagai
pilihan strategi serta memilih strategi yang dianggap paling mungkin mencapai
tujuan
Menyadari serta melakukan
monitor atas proses berpikir sendiri dan secara terus-menerus mencoba
mengembangkannya
Memperoleh makna serta
pengetahuan dan melakukan transfer atau aplikasi pada pemecahan masalah yang
dihadapi secara kreatif
Berpikir secara reflektif
sebagai alat untuk mengembangkan pendekatan kognitif dan transfer pengetahuan
Berpartisipasi dalam
pengembangan serta penggunaan esesmen untuk mengevaluasi kemajuan sendiri.
|
Menyediakan lingkungan
belajar yang memungkinkan self-regulated dalam belajar pada diri siswa
berkembang
Menciptakan kesempatan untuk
terjadinya self-directed activities, collaborative work, dan sharing
of knowledge
Membimbing siswa dalam hal
bagaimana belajar
Bertindak sebagai fasilitator
dan pembimbing
Menjadi model, mediator, dan
pembina yang sesuai dengan kebutuhan siswa
Membantu siswa untuk
menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya
Membantu siswa untuk
senantiasa memperbaiki dan mengembangkan strategi pemecahan masalah yang
digunakan
Aktif mendengarkan, bertanya,
menyediakan balikan, serta menolong siswa untuk selalu berfokus pada
permasalahan yang dihadapi.
|
terima kasih sist!!...
ReplyDeleteIjin share ya kak artikelnya membntu skali tugas saya
ReplyDeleteoke sip. :) terima kasih sudah berkunjung
Delete